Selasa, 03 Maret 2015

Tazkiyatun-Nufus Halaqoh #007



Tazkiyatun-Nufus
Halaqoh #007
Bab 1: Ikhlas dan Mutaba'ah #6
🔗 Mutaba'ah Sunnah Rasul
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
السلام عليكم ورحمة اللّه ﺗﻌﺎﻟﯽٰ وبركاته
اَلْحَمْدُ لِلهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طيّبًا مباركًا فيه كَمَا يحبّوا ربّنا ويرضى. و أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ  وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أَمَّا بَعْدُ؛
Ikhwāni wa akhawāti fillāh rohimāni wa rohimakumullāhu jamī’an, halaqoh hari ini adalah halaqoh yang ke tujuh, pada poin ikhlas, di mana poin alif adalah membahas secara khusus tentang Ikhlas, sekarang poin yang ba membahas tentang mutaba’atus-sunnah, mengikuti sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Mutaba’ah berarti ‘ala wazni mufaa’alah (على وزن المفاعلة), mengikuti wazan (timbangan shorof)  mufaa’alah. Yaitu taaba’a - yutaabi’u - mutaaba’atan (تابع - يتابع -متاعبة). Juga bermakna ittaba’a - yattabi’u - ittibaa’an ( اتبع - يتبع -اتباعا) , ittiba’. Ittiba’ bi ma'na iqtida’ (اقتداء) meneladani, mencontoh, mengikut sunnah-sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, baik ucapan, perbuatan ataupun perkara-perkara yang didiamkan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Berkata Syaikh DR Ahmad Farid hafidzahullāhu, “Syarat yang kedua agar diterimanya amal adalah agar amal tersebut muthoobiqon, sesuai dengan sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam”. Hal ini sesuai dengan hadits:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ قَالَ ابْنُ عِيسَى قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَنَعَ أَمْرًا عَلَى غَيْرِ أَمْرِنَا فَهُوَ رَدٌّ.
Dari ‘Aisyah  radhiyallāhu Ta'ālā 'anhā, telah bersabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, “Barang siapa yang mengada-adakan, membuat perkara baru dalam urusan kami (Islam), yang bukan bagian dari agama ini, maka amalan tersebut tertolak”
Pada riwayat yang lain, menurut Imam Muslim “Barang siapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami, maka amalan tersebut tertolak”.
Hadits ini adalah dasar dari dasar-dasar Islam. Sebagaimana hadits, bahwasanya, “amal tergantung niat", itu menjadi timbangan, timbangan dalam amalan secara bathin, maka hadits ini adalah timbangan bagi amalan secara lahir. Sebagaimana setiap amalan yang tidak dimaksudkan dengan amal tersebut mengharap wajah Allāh Subhānahu wa Ta'āla , pelakunya tidak mendapatkan pahala sama sekali, demikian pula setiap amalan yang tidak sesuai dengan perintah Allah dan RosulNya, maka amalan tersebut juga roddun ‘ala amilihi (رد على عامله), tertolak.
Artinya bahwa amalan yang tidak ikhlas tidak diterima dan amalan yang tidak  mengikuti sunnah, yang tidak mencontoh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam juga tertolak ( tidak diterima). Karena makna sabda Nabi  ليس علبه أمرنا "laisa ‘alaihi amruna", " tidak di atas perkaranya kami", hal ini menunjukkan bahwa semua amalan dari orang-orang yang beramal, semuanya harus seyogiyanya di bawah ketentuan hukum-hukum syariah. Sehingga hukum-hukum syariah menjadi hakim penentu atas amalan-amalan tersebut, baik berkaitan dengan perintah ataupun larangan-larangan.
Maka barang siapa yang amalnya berjalan di bawah hukum-hukum syariah, sesuai dengan hukum-hukum syariah, maka amalan itu maqbul/ diterima. Dan sebaliknya, barang siapa yang amalannya keluar dari ketentuan itu, maka mardud/ tertolak.
Kemudian Mu’allif (penulis) melanjutkan, menerangkan hal ini, Allah telah mewajibkan atas kita untuk taat kepada RosulNya shallallāhu 'alayhi wa sallam, QS Al-Hasyr ayat 7:
......وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا.....(7)
Dan apa yang datang dari Rosul kepada kalian, maka ambilah, dan apa yang Rosul larang bagi kalian, maka tinggalkanlah.
Dan Allāh Subhānahu wa Ta'āla  berfirman: QS Al-Ahzaab ayat 36.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى الله وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا(36)
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allāh dan RosuluNya telah  menetapkan suatu ketetapan akan ada pilihan yang lain bagi mereka tentang urusan mereka, dan barang siapa yang mendurhakai Allāh dan RosuluNya, maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.”
Artinya orang yang tidak menerima ketentuan Allāh dan RosulNya, tidak beramal dengan ikhlas, dan juga  tidak ittiba' kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, atau masih ada pilihan lain bagi mereka, masih mengikuti hawa, masih mengikuti prasangka, masih mengikuti kira-kira, masih mengikuti perkataan orang yang bertentangan dengan kitabuLLah dan sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, tidak meneladani Nabi, tidak mencontoh Nabi, maka sungguh dia telah sesat yang nyata. Karena ucapan orang yang beriman apabila dipanggil maka akan mengatakan sami’na wa atho’na ( kami dengar dan kami taat).  
Allāh Subhānahu wa Ta'āla  telah menjadikan pengikut sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam sebagai bukti akan kecintaannya kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Allāh Subhānahu wa Ta'āla  berfirman,  QS Ali Imron ayat 31:
.....قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ الله فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ الله.....(31)
“Katakanlah Muhammad, jika kalian mencintai Allāh, maka ikutilah aku, maka Allāh Subhānahu wa Ta'āla  akan mencintai kalian".
Berkata Hasan Al-Basri, “Manusia mengaku mencintai Allāh Azza wajalla, lantas Allāh menguji mereka dengan turunnya ayat ini, “Katakanlah Muhammad, jika kalian betul-betul mencintai Allāh, maka ikutilan aku” yakni Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, maka Allāh akan mencintai kalian.
Jadi pertanda, bukti kalau seseorang itu mencintai Allāh, adalah mengikuti Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. Bukti kalau seseorang itu mencintai, mengagungkan dan memulyakan Allāh Subhānahu wa Ta'āla, maka dia beramal sesuai dengan petunjuk Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Sebagaimana pula Nabi mewasiatkan untuk berpegang teguh dengan sunnahnya, dan juga sunnah khulafaur-rasyidin, para khalifah-khalifah Rasyidin yang 4, Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda,:
....... فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kalian, yakni sepeninggal Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, maka dia akan mendapatkan ikhltilaf yang banyak, (perselisihan yang sangat banyak), maka solusinya kata Nabi, wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnah ku dan sunnah khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, gigitlah dengan gerahammu, (bermakna pegang erat-erat), dan waspadalah kalian dari hal perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah sesat.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Demikian pula hadits ini diriwayatkan oleh Imam Darimi, Ibnu Majah dan Imam Baghowi.
Ittiba’ kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam berarti kita mengikuti dan mencontoh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam baik dalam keyakinan, ucapan maupun perbuatan. Sehingga apa yang diyakini oleh Nabi juga diyakini oleh kita, apa yang diucapkan oleh Nabi kita contoh pula, apa yang diperbuat oleh Nabi, kita contoh pula. Sebagaimana Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dalam kaitannya akidah, iman kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, iman terhadap malaikat, iman terhadap kitab-kitab Allāh Subhānahu wa Ta'āla, iman terhadap Rosul-rosul, iman terhadap hari akhir, iman terhadap qodho dan qodar, maka keyakinan ini harus dibangun di atas keyakinan yang diyakini oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Bukan semata-mata mendahulukan akal, sehingga yang tidak sesuai dengan akal justru dimentahkan, dibuang jauh-jauh. Jangan sampai justru mengikuti dan mendewakan hawa nafsu, sehingga yang tidak sesuai dengan keinginan atau hawa nafsunya dimentahkan dan dibuang jauh-jauh. Karena berpegang teguh dengan sunnah Rosul adalah satu-satunya jalan keselamatan. Ittiba’, berpegang teguh dengan sunnah Rosul  adalah satu-satunya jalan keselamatan.
Demikian pula kita dalam berucap, selalu berusaha mengikuti dan meneladani Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. Demikian pula di dalam berbuat, selalu berusaha dan mengikuti yang diamalkan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.  Jika ada amalan atau perbuatan yang meskipun itu sudah lazim di masyarakat, sudah menjamur di tengah-tengah masyarakat, namun tidak dicontohkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, maka jangan segan anda mengatakan tidak, karena lebih baik anda dicampakkan dijauhkan dari masyarakat, daripada anda dijauhkan dari surga Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Karena hakekatnya tetap berpegang teguh dengan sunnah Nabi adalah kesuksesan, jalan keselamatan.

Hal ini sebagaimana perkataan Imam Zuhri, “Berpegang teguh dengan sunnah Nabi adalah keselamatan”. Karena sunnah itu ibarat perahu Nabi Nuh 'aliyissalam, hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Imam Malik, “Sunnah itu ibarat perahunya Nuh 'aliyissalam, barang siapa yang naik, maka dia sukses, dia selamat dari petaka, dan barang siapa enggan, tidak naik perahu tersebut, maka dia binasa”.
Kalau anda bayangkan, pahami betul-betul perkataan Imam Malik ini, maka sangat bisa dipahami, bahwa sunnah adalah seperti perahunya Nabi Nuh 'aliyissalam, dimana tatkala itu terjadi banjir bandang yang begitu besar, air turun dari atas langit, semua sumber-sumber air memancarkan air nya, sehingga bertemu dalam suatu titik, dan menjadilah semuanya banjir seluruh jagat raya ini. Tidak ada yang akan bisa selamat kecuali dengan menaiki perahunya Nabi Nuh 'aliyissalam.
Maka demikianlan kita hidup pada zaman ini, tidak ada yang bisa menyelamatkan kita dari semua fitnah shubhat ataupun fitnah syahwat. Fitnah shubhat, kerancuan dalam berfikir, kecuali dengan kembali kepada sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. Ibarat kita mengendarai atau numpak perahu Nabi Nuh 'aliyissalam, tidak ada jalan lain kecuali harus numpak perahu itu, tidak ada jalan lain kecuali harus ittiba’ dengan sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Berkata Sufyan, “Ucapan tidak diterima kecuali dengan amalan (dipraktekan), dan perkataan dan perbuatan tidak akan istiqomah, tidak akan langgeng, kecuali didasari dengan niat (niat yang shalihah), dan tidak akan istiqomah (tidak akan lurus), perkataan, perbuatan dan niat, kecuali dengan mengikuti sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Perkataan terakhir adalah perkataan Ibnu Syaudzab, “Sesungguhnya diantara nikmat Allāh  atas pemuda, yaitu apabila dia beribadah dengan diberi taufik oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla  untuk mengikuti jalannya seorang ahli sunnah, sehingga seorang ahli sunnah itu akan membawanya kepada sunnah. Ini adalah termasuk nikmat yang begitu besar atas seorang pemuda. Terlebih kita ketahui bahwa kebanyakan orang yang punya pemikiran terlalu banyak menyimpang dari kitabuLLah dan sunnah Rasulullah adalah para pemuda, karena jauhnya mereka dari pemahaman agama.
Maka jalan sukses untuk kita beragama adalah untuk kembali kepada Dien ini, kembali belajar ilmu syar’i, karena inilah satu-satu nya untuk kita lebih mengenal agama Islam secara mendalam, sehingga hati kita semakin bersih dari segala kotoran yang mengotorinya, hati kita semakin jernih karena ilmu sebagai penjaga atas hati kita, yang menyinarinya, yang membersihkannya dan juga yang menangkis segala virus, kotoran ataupun amal-amal yang bisa mengotorinya.
Demikian semoga berfaedah dan bermanfaat.
والله تعلى و أعلم بالصواب، و الحمد الله ربّ العالمين
ثم السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ  
Disalin oleh Tim Transkrip
🔁 Dapat diunduh di: http://goo.gl/I4ocdW
✅ Dimuraja'ah oleh Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc.
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus (penulis Syaikh Dr. Ahmad Farid)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
️Madrasah Ahlussunnah Waljama'ah Li I'dad Du'at Desa Bener, Kec. Tengaran, Kab. Semarang

0 komentar:

Posting Komentar