Nufus Tazkiyatun
Halaqoh #006
Bab 1: Ikhlas dan Mutaba'ah #5
🔗 Ikhlas Bagian 5: Keutamaan Niat Ikhlas
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
Bab 1: Ikhlas dan Mutaba'ah #5
🔗 Ikhlas Bagian 5: Keutamaan Niat Ikhlas
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
بِسْمِ
الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
السلام عليكم ورحمة اللّه ﺗﻌﺎﻟﯽٰ وبركاته
السلام عليكم ورحمة اللّه ﺗﻌﺎﻟﯽٰ وبركاته
إِنَّ الْحَمْدَ الله نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْه فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ
لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أَمَّا
بَعْدُ؛
Ikhwanī wal akhawatī fillah rohimani
wa rohimakumullahu jamī'an, nashkurullāhu Ta'āla, kita bersyukur kedapa Allāh
Subhānahu wa Ta'āla, pada kesempatan yang mulia ini, kita masih bisa
melanjutkan kajian kitab Tazkiyatun Nufus untuk halaqah yang keenam.
Pada
halaqah ini in syā Allāh kita akan membahas tentang Keutamaan
Niat.
Mu'allif
(Penulis) Syaikh DR Ahmad Farid حفظه الله, membawakan riwayat dari
Umar bin Khothob radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, bahwasanya beliau
mengatakan bahwa: “Seutama-utama amal adalah:
Menunaikan apa yang Allāh Subhānahu wa Ta'āla fardhukan,
Wara’ yaitu meninggalkan apa yang Allāh Subhānahu wa Ta'āla haramkan
Niat yang benar dalam hal meraih pahala di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla ”.
Menunaikan apa yang Allāh Subhānahu wa Ta'āla fardhukan,
Wara’ yaitu meninggalkan apa yang Allāh Subhānahu wa Ta'āla haramkan
Niat yang benar dalam hal meraih pahala di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla ”.
Umar
bin Khathab radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, mengatakan bahwa yang paling
utama dari semua amalan adalah melaksanakan apa yang
Allāh fardhukan, karena fardhu tentu lebih utama dari pada yang
sunnah, karena kaitannya dengan fardhu dan sunnah ini diantara kita mungkin
terjebak, lebih mendahulukan yang sunnah dari pada yang fardhu, bahkan lebih
mendahulukan mungkin yang mubah.
Diantara
ibadah fardhu yang hilang dari kita adalah tholabul ‘ilmi, kita jarang
menyadarinya bahwa ini adalah ibadah fardhu, dan ilmu yang dimaksud adalah ilmu
syar’i. In syā Allāh ada bab yang khusus membahas keutamaan ilmu syar’i.
Diantaranya
yang kadang kita terjebak dalam perkara antara yang fardhu dan bukan fardhu dan
lebih mendahulukan yang bukan fardhu adalah masalah infak atau shodaqoh. Nabi
shallallāhu 'alayhi wa sallam
bersabda: “Dinar/Uang/Harta yang kau infakkan di jalan Allāh di jalan Jihad, Dinar yang kau infakkan kepada orang-orang miskin dan dinar yang kau infakkan kepada keluargamu yang paling besar pahalanya adalah yang kau infakkan kepada keluargamu”.
bersabda: “Dinar/Uang/Harta yang kau infakkan di jalan Allāh di jalan Jihad, Dinar yang kau infakkan kepada orang-orang miskin dan dinar yang kau infakkan kepada keluargamu yang paling besar pahalanya adalah yang kau infakkan kepada keluargamu”.
Hal
ini karena menafkahi anak, istri, keluarga, kerabat yang fakir yang tidak mampu
dan kalau kita mampu adalah kewajiban bagi kita, menafkahi anak dan istri
adalah kewajiban bagi seorang suami, sehingga ini lebih afdhol, lebih utama
karena ini fardhu, ketimbang infak kepada fuqoro, infak kepada miskin yang
bernilai pahala sunnah. Maka infak kepada keluarga itu lebih utama dari pada
infak kepada fuqoro, karena ini termasuk nafaqoh wajib.
Diantara
yang kadang kita terjebak adalah dalam masalah tholabul ‘ilmi, padahal Nabi
shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda, bahwa “Menuntut ilmu itu
kewajiban atas setiap muslim”. Dan ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i.
Bahkan muroja’ahnya, menghapalnya, mencatatnya, mengulang-ulang kembali materi
yang telah dipelajarinya bagian dari fardhu. Jangan pernah lupa, bahwa ini
adalah ibadah fardhu. Maka kita harus lebih mengerahkan segala waktu kita untuk
tholabul ‘ilmi.
Kemudian
yang kedua, seutama-utama yang dikatakan oleh Umar bin
Khatab radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu , “Bersikap Wara’ atau meninggalkan
apa-apa yang Allāh haramkan”. Karena setiap apa yang Allāh haramkan adalah
pasti bagi hambanya mampu untuk meninggalkan. Berbeda pada perintah, sebuah
perintah adalah ditunaikan sesuai dengan kadar kemampuan. Bertaqwalah kalian
kepada Allā sesuai kadar kemampuan. Berbeda dengan sesuatu yang Allāh haramkan,
sesuatu yang Allāh haramkan ini pasti hambanya mampu untuk meninggalkannya.
Kata
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, “Dan apabila aku melarang kalian
terhadap sesuatu, maka tinggalkanlah”. Maka berarti konteksnya bisa dipahami
bahwa, semua yang Allāh haramkan dan semua yang
Rasūlullāh haramkan pasti kita mampu meninggalkannya. Berbeda
dengan perintah, maka sesuai pada kadar kemampuan. Orang tidak mampu sholat
berdiri, maka dia sholat dalam kondisi duduk, tidak mampu duduk maka dengan
kondisi berbaring, tidak sanggup berbaring maka dalam kondisi isyarat. Kalau
tidak mampu disholati.
Demikian
dalam hal larangan, pasti semua bisa meninggalkannya. Maknanya adalah, apapun
yang Allāh haramkan, pasti bisa ditinggalkan. Sehingga ketika seseorang ingin
berbuat zina, pasa saat itu pula dia mampu untuk meninggalkannya, untuk tidak
berbuat zina, dan seterusnya, apa yang Allāh haramkan pasti mampu untuk
ditinggalkan.
Dan
ketiga yang dikatakan oleh Umar radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu , “Dan
seutama-utama amal adalah niat yang benar untuk meraih pahala di sisi Allāh
Subhānahu wa Ta'āla”. Karena tanpa niat yang benar, maka pahala tidak akan bisa
diraih, sehingga amal sebesar apapun tanpa niat yang benar karena Allāh
Subhānahu wa Ta'āla , maka kita tidak akan bisa meraihnya. Oleh karena itu niat
yang benar adalah seutama-utama amal. Dan niat itu letaknya di hati.
Berkata
sebagian para salaf, “ Berapa banyak amal yang kecil, menjadi besar dikarenakan
niat”. Mungkin amalnya adalah sekedar menyingkirkan duri di jalan, tapi karena
niatnya benar, karena niatnya ikhlas karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla ,
menyingkirkan gangguan bagi kaum muslimin bagi para pengguna jalan, tanpa
pamrih, tanpa ingin ada balas jasa atau balas budi, maka itu di nilai besar di
sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla . Meskipun hanya sekedar menyingkirkan duri di
jalan, gangguan di jalan.
Dan
berapa banyak amal yang besar menjadi kecil dikarenakan niat. Ibadah jihad,
ibada haji yang membutuhkan modal besar, menjadi kecil nilainya tatkala tidak
dibarengi niat yang ikhlas. Jihad dengan harta dan jiwa, bersimbah darah,
bahkan mungkin menemui kematian, tapi kalau tidak niat yang benar, yang ikhlas
karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla , maka tidak bernilai pahala.
Tholabul
‘ilmi, menuntut ilmu, keutamaan yang besar, ibadah yang besar, kewajiban yang
besar, tapi kalau tidak dibarengi dengan niat yang benar karena Allāh Subhānahu
wa Ta'āla , maka menjadi sirna pahalanya, berkurang atau bahkan hilang sama
sekali. Tapi niat sekecil apapun, bahkan mungkin perkara-perkara mubah,
perkara-perkara duniawi, rutinitas-rutinitas sehari-hari, makan, minum, ini
adalah perkara yang mubah, tidak berpahala, tapi karena niat yang benar, agar
ibadahnya semakin kuat, agar mampu melaksanakan ketaatan kepada Allāh dengan
sempurna karena fisik yang optimal dan prima. Maka disaat
itu rutinitas yang mubah, perkara duniawi, rutinitas perkara duniawi
menjadi bernilai pahala disisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla, karena niat yg benar.
Maka disinilah betapa pentingnya niat.!!
Yanya
bin Abi Katsir mengatakan, “Belajarlah niat, pelajarilah niat, karena
sesungguhnya niat itu lebih menyampaikan ke tujuan dari pada
amal!!”. Amal mungkin bisa tidak sampai kepada Allāh Subhānahu wa
Ta'āla , tidak diterima jika tidak ikhlas. Tetapi niat seorang berazam,
bertekad ingin beramal, hanya sekedar niat, niat kebaikannya sudah dicatat
sebagai pahala, di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Maka pelajarilah niat,
karena sesungguhnya niat itu lebih menyampaikan kepada tujuannya. Mendapatkan
pahala di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla .
Namun,
apakah niat itu harus dilafadzkan ? diungkapkan, dibeberkan dan diucapkan. Ada
satu riwayat yang disebutkan oleh Syaikh DR Ahmad Farid, dari Ibnu
Amar radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu , “Beliau mendengar seseorang ketika
sedang ihrom berkata “Allāhuma inni urīdul hajja wal ‘umrota” “Ya Allah, aku
hendak berhaji dan ber-umroh”, maka Ibnu Umar radhiyallāhu Ta'ālā
'anhu berkata kepada orang ini, “Apakah engkau hendak memberi tahu
orang lain ?” apakah engkau hendak mengabarkan orang lain ? Hal ini karena niat
adalah maksud hati, kehendak hati, sehingga tidak perlu dilafadzkan. Maka tidak
perlu dilafadzkan, dalam ibadah apapun. Namun disyariatkan dalam ibadah haji
dan umroh untuk mengucapkan, “Labbaik Allāhumma labbaik, labbaik allahuma bi
hajjatin” atau “labbaik Allahumma bi ‘umrotin” atau ketika haji qorin “labbaik
allahuma bi ‘umrotin wa hajjatin”. Dan ini yang dikenal dengan istilah ihlal
atau talbiyah (bukan melafadzkan niat).
Semoga
ini bisa dipahami dan memberikan faedah bagi kita semua akan pentingnya niat.
Sehingga dalam semua aktivitas baik yang bernilai mubah/perkara duniawi,
apalagi yang bernilai ibadah, maka seyogiyanya bagi kita untuk menghadirkan
niat. Karena begitu pentingnya niat dan urgensinya niat itu.
Semoga
Allāh Subhānahu wa Ta'āla memberikan taufik kepada kita untuk
meluruskan niat-niat kita pada setiap ibadah-ibadah yang kita lakukan.
والله
تعلى و أعلم بالصواب، و الحمد الله ربّ العالمين
ثم السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
ثم السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
✏ Disalin oleh Tim Transkrip
✅ Dimuraja'ah oleh Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc.
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus (penulis Syaikh Dr. Ahmad Farid)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
➡️Madrasah Ahlussunnah Waljama'ah Li I'dad Du'at Desa Bener, Kec. Tengaran, Kab. Semarang
✅ Dimuraja'ah oleh Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc.
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus (penulis Syaikh Dr. Ahmad Farid)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
➡️Madrasah Ahlussunnah Waljama'ah Li I'dad Du'at Desa Bener, Kec. Tengaran, Kab. Semarang
0 komentar:
Posting Komentar