Selasa, 03 Maret 2015

Tazkiyatun Nufus Halaqoh #006



Nufus Tazkiyatun
Halaqoh #006
Bab 1: Ikhlas dan Mutaba'ah #5
🔗 Ikhlas Bagian 5: Keutamaan Niat Ikhlas
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc

بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
السلام عليكم ورحمة اللّه ﺗﻌﺎﻟﯽٰ وبركاته
إِنَّ الْحَمْدَ الله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْه فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.  أَمَّا بَعْدُ؛
Ikhwanī wal akhawatī fillah rohimani wa rohimakumullahu jamī'an, nashkurullāhu Ta'āla, kita bersyukur kedapa Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada kesempatan yang mulia ini, kita masih bisa melanjutkan kajian kitab Tazkiyatun Nufus untuk halaqah yang keenam.
Pada halaqah ini   in syā Allāh kita akan membahas tentang Keutamaan Niat.
Mu'allif (Penulis) Syaikh DR Ahmad Farid  حفظه الله, membawakan riwayat dari Umar bin Khothob  radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, bahwasanya beliau mengatakan bahwa: “Seutama-utama amal adalah:
Menunaikan apa yang Allāh Subhānahu wa Ta'āla  fardhukan,
Wara’ yaitu meninggalkan apa yang Allāh Subhānahu wa Ta'āla  haramkan
Niat yang benar dalam hal meraih pahala di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla ”.
Umar bin Khathab  radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, mengatakan bahwa yang paling utama dari semua amalan adalah melaksanakan apa yang Allāh  fardhukan, karena fardhu tentu lebih utama dari pada yang sunnah, karena kaitannya dengan fardhu dan sunnah ini diantara kita mungkin terjebak, lebih mendahulukan yang sunnah dari pada yang fardhu, bahkan lebih mendahulukan  mungkin yang mubah.
Diantara ibadah fardhu yang hilang dari kita adalah tholabul ‘ilmi, kita jarang menyadarinya bahwa ini adalah ibadah fardhu, dan ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i. In syā Allāh ada bab yang khusus membahas keutamaan ilmu syar’i.
Diantaranya yang kadang kita terjebak dalam perkara antara yang fardhu dan bukan fardhu dan lebih mendahulukan yang bukan fardhu adalah masalah infak atau shodaqoh. Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam
bersabda: “Dinar/Uang/Harta yang kau infakkan di jalan Allāh di jalan Jihad, Dinar yang kau infakkan kepada orang-orang miskin dan dinar yang kau infakkan kepada keluargamu yang paling besar pahalanya adalah yang kau infakkan kepada keluargamu”.
Hal ini karena menafkahi anak, istri, keluarga, kerabat yang fakir yang tidak mampu dan kalau kita mampu adalah kewajiban bagi kita, menafkahi anak dan istri adalah kewajiban bagi seorang suami, sehingga ini lebih afdhol, lebih utama karena ini fardhu, ketimbang infak kepada fuqoro, infak kepada miskin yang bernilai pahala sunnah. Maka infak kepada keluarga itu lebih utama dari pada infak kepada fuqoro, karena ini termasuk nafaqoh wajib.
Diantara yang kadang kita terjebak adalah dalam masalah tholabul ‘ilmi, padahal Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam  bersabda, bahwa “Menuntut ilmu itu kewajiban atas setiap muslim”. Dan ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i. Bahkan muroja’ahnya, menghapalnya, mencatatnya, mengulang-ulang kembali materi yang telah dipelajarinya bagian dari fardhu. Jangan pernah lupa, bahwa ini adalah ibadah fardhu. Maka kita harus lebih mengerahkan segala waktu kita untuk tholabul ‘ilmi.
Kemudian yang kedua, seutama-utama yang dikatakan oleh Umar bin Khatab  radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu , “Bersikap Wara’ atau meninggalkan apa-apa yang Allāh haramkan”. Karena setiap apa yang Allāh haramkan adalah pasti bagi hambanya mampu untuk meninggalkan. Berbeda pada perintah, sebuah perintah adalah ditunaikan sesuai dengan kadar kemampuan. Bertaqwalah kalian kepada Allā sesuai kadar kemampuan. Berbeda dengan sesuatu yang Allāh haramkan, sesuatu yang Allāh haramkan ini pasti hambanya mampu untuk meninggalkannya.
Kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, “Dan apabila aku melarang kalian terhadap sesuatu, maka tinggalkanlah”. Maka berarti konteksnya bisa dipahami bahwa, semua yang Allāh  haramkan dan semua yang Rasūlullāh   haramkan pasti kita mampu meninggalkannya. Berbeda dengan perintah, maka sesuai pada kadar kemampuan. Orang tidak mampu sholat berdiri, maka dia sholat dalam kondisi duduk, tidak mampu duduk maka dengan kondisi berbaring, tidak sanggup berbaring maka dalam kondisi isyarat. Kalau tidak mampu disholati.
Demikian dalam hal larangan, pasti semua bisa meninggalkannya. Maknanya adalah, apapun yang Allāh haramkan, pasti bisa ditinggalkan. Sehingga ketika seseorang ingin berbuat zina, pasa saat itu pula dia mampu untuk meninggalkannya, untuk tidak berbuat zina, dan seterusnya, apa yang Allāh haramkan pasti mampu untuk ditinggalkan.
Dan ketiga yang dikatakan oleh Umar  radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu , “Dan seutama-utama amal adalah niat yang benar untuk meraih pahala di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla”. Karena tanpa niat yang benar, maka pahala tidak akan bisa diraih, sehingga amal sebesar apapun tanpa niat yang benar karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla , maka kita tidak akan bisa meraihnya. Oleh karena itu niat yang benar adalah seutama-utama amal. Dan niat itu letaknya di hati.
Berkata sebagian para salaf, “ Berapa banyak amal yang kecil, menjadi besar dikarenakan niat”. Mungkin amalnya adalah sekedar menyingkirkan duri di jalan, tapi karena niatnya benar, karena niatnya ikhlas karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla , menyingkirkan gangguan bagi kaum muslimin bagi para pengguna jalan, tanpa pamrih, tanpa ingin ada balas jasa atau balas budi, maka itu di nilai besar di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla . Meskipun hanya sekedar menyingkirkan duri di jalan, gangguan di jalan.
Dan berapa banyak amal yang besar menjadi kecil dikarenakan niat. Ibadah jihad, ibada haji yang membutuhkan modal besar, menjadi kecil nilainya tatkala tidak dibarengi niat yang ikhlas. Jihad dengan harta dan jiwa, bersimbah darah, bahkan mungkin menemui kematian, tapi kalau tidak niat yang benar, yang ikhlas karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla , maka tidak bernilai pahala.
Tholabul ‘ilmi, menuntut ilmu, keutamaan yang besar, ibadah yang besar, kewajiban yang besar, tapi kalau tidak dibarengi dengan niat yang benar karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla , maka menjadi sirna pahalanya, berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Tapi niat sekecil apapun, bahkan mungkin perkara-perkara mubah, perkara-perkara duniawi, rutinitas-rutinitas sehari-hari, makan, minum, ini adalah perkara yang mubah, tidak berpahala, tapi karena niat yang benar, agar ibadahnya semakin kuat, agar mampu melaksanakan ketaatan kepada Allāh dengan sempurna karena fisik yang optimal dan prima. Maka disaat itu  rutinitas yang mubah, perkara duniawi, rutinitas perkara duniawi menjadi bernilai pahala disisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla, karena niat yg benar. Maka disinilah betapa pentingnya niat.!!
Yanya bin Abi Katsir mengatakan, “Belajarlah niat, pelajarilah niat, karena sesungguhnya niat itu lebih menyampaikan ke tujuan dari pada amal!!”.  Amal mungkin bisa tidak sampai kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla , tidak diterima jika tidak ikhlas. Tetapi niat seorang berazam, bertekad ingin beramal, hanya sekedar niat, niat kebaikannya sudah dicatat sebagai pahala, di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Maka pelajarilah niat, karena sesungguhnya niat itu lebih menyampaikan kepada tujuannya. Mendapatkan pahala di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla .
Namun, apakah niat itu harus dilafadzkan ? diungkapkan, dibeberkan dan diucapkan. Ada satu riwayat yang disebutkan oleh Syaikh DR Ahmad Farid, dari Ibnu Amar  radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu , “Beliau mendengar seseorang ketika sedang ihrom berkata “Allāhuma inni urīdul hajja wal ‘umrota” “Ya Allah, aku hendak berhaji dan ber-umroh”, maka Ibnu Umar  radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu  berkata kepada orang ini, “Apakah engkau hendak memberi tahu orang lain ?” apakah engkau hendak mengabarkan orang lain ? Hal ini karena niat adalah maksud hati, kehendak hati, sehingga tidak perlu dilafadzkan. Maka tidak perlu dilafadzkan, dalam ibadah apapun. Namun disyariatkan dalam ibadah haji dan umroh untuk mengucapkan, “Labbaik Allāhumma labbaik, labbaik allahuma bi hajjatin” atau “labbaik Allahumma bi ‘umrotin” atau ketika haji qorin “labbaik allahuma bi ‘umrotin wa hajjatin”. Dan ini yang dikenal dengan istilah ihlal atau talbiyah (bukan melafadzkan niat).
Semoga ini bisa dipahami dan memberikan faedah bagi kita semua akan pentingnya niat. Sehingga dalam semua aktivitas baik yang bernilai mubah/perkara duniawi, apalagi yang bernilai ibadah, maka seyogiyanya bagi kita untuk menghadirkan niat. Karena begitu pentingnya niat dan urgensinya niat itu.
Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla  memberikan taufik kepada kita untuk meluruskan niat-niat kita pada setiap ibadah-ibadah yang kita lakukan.
والله تعلى و أعلم بالصواب، و الحمد الله ربّ العالمين
ثم السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ  
Disalin oleh Tim Transkrip
✅ Dimuraja'ah oleh Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc.
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus (penulis Syaikh Dr. Ahmad Farid)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
️Madrasah Ahlussunnah Waljama'ah Li I'dad Du'at Desa Bener, Kec. Tengaran, Kab. Semarang

0 komentar:

Posting Komentar