Selasa, 03 Maret 2015

TAZKIYATUN-NUFUS Halaqoh #008



TAZKIYATUN-NUFUS
Halaqoh #008
Bab 2: Keutamaan Ilmu dan Ulama #1
🔗Keutamaan Ilmu bagian 1
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
السلام عليكم ورحمة اللّه ﺗﻌﺎﻟﯽٰ وبركاته
الْحَمْدُ ِللهِ وَالصَّلاَةُ  وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ  وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِالْهُدَى إِلىَ يَوْمِ القيامة، أَمَّا بَعْدُ:
Ikhwani wa akhawati fillah rohimani wa rohimakumullahu jami’an, alhamdulillah, pada halaqoh yang ke delapan ini   in Syā Allāh Ta'āla  kita masuk pada bab yang kedua, bab Keutamaan Ilmu dan Ulama.
Pada bab ini tentu akan diterangkan tentang keutamaan ilmu dan kemuliaan para ulama.
Berkata Syaikh DR Akhmad Farid, "Apakah itu Ilmu ? Ilmu adalah yang tegak diatas dalil. Dan ilmu yang dimaksud adalah ilmu Al-Qur'an dan Sunnah yang dipahami dengan pemahaman salaful ummah".
Karena sejatinya ilmu adalah firman Allāh, sabda Rosulullah dan juga perkataan para sahabat. Tiga hal inilah yang menjadi rujukan di dalam kita mencari ilmu syar'i yang harus kita pelajari.
Adapun tentang keutamaannya, berkata Syaikh, "Disebutkan dalam al-Qur'an, diantaranya adalah firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla: QS Al-Mujaadalah ayat 11:
.......يَرْفَعِ الله الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ.......
"Niscaya Allāh akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat".
Setelah Allāh Subhānahu wa Ta'āla melihat hati hamba-hambanya, kemudian Allāh memilih diantara hambaNya untuk beriman, karena hati mereka siap untuk mendapatkan iman, hidayah, Allāh tinggikan mereka derajatnya.  Dan diantara orang-orang yang beriman Allāh pilih kembali untuk menjadi orang-orang yang berilmu, mengemban agama ini. Sehingga menjadi orang yang berilmu adalah pilihan, kebaikan dari Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Dalam ayat yang lain juga Allāh Subhānahu wa Ta'āla menyebutkan tentang keutamaan orang yang berilmu ini: QS Azzumar ayat 9
.......قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ.......
"Katakanlah, apakah sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu ?"
Tentu jawabannya adalah tidak sama, pertanyaan ini adalah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Karena sangat bisa dipahami bahwa sangat berbeda antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Hal ini sebagaimana yang  dituturkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam :
........ فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ .........
"Keutamaan orang yang berilmu diatas ahli ibadah, seperti keutamaanku diatas orang yang rendahan diantara kalian, yakni para sahabat".
Tentu ini adalah kemuliaan, dan ini adalah kedudukan yang mulia. Bagaimana tidak ?, Allāh Subhānahu wa Ta'āla telah mengangkat derajat orang-orang yang berilmu, sampai Nabi mengatakan kedudukannya seperti kemuliaannya diatas ahli ibadah, seperti kemuliaan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, diatas orang yang rendahan diantara para sahabat.
Adapun dalam berita riwayat yang shohih, akan keutamaan ilmu, diantaranya sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam :
..........وَمَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
"Barang siapa yang Allāh kehendaki kepadanya kebaikan, maka Allāh akan pahamkan ia agama".
(Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim).
Jadi orang yang paham terhadap die/ faqih, faqih dalam artian: dia faqqih mengetahui hukum-hukum fiqih, mengetahui ahkamusy-syariah. Atau faqqih dalam arti lebih dari ini. Sebagaimana ucapan Abu Darda:
من فقه العبد أن يعلم نزغات الشيطان آنى تأتيه
"Diantara kedalaman pemahaman seorang hamba, adalah mengetahui bisikan-bisikan syaiton, kapanpun datangnya".
Ini dikatakan oleh sahabat yang mulia Abu Darda  radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu sebagai kedalaman pemahaman seorang hamba dalam agamanya. Sehingga fiqih fiddin, kaitannya dengan fiqih ahkamusy-syariah, hukum-hukum syariah juga yang lainnya. Itu juga dikatakan sebagai faqih.
Kalau kita simak hadits yang pertama tadi, "Barang siapa yang Allāh menghendaki kebaikan baginya, maka Allāh akan fahamkan ia agama". Ini sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Bin Baz rahimahullāhu Ta'āla , beliau mengatakan:
الذي لا يتعلم ولا يتفقه ما أراد الله به خيرا
"Orang yang tidak belajar dan tidak mau menuntut ilmu, tidak mau bertafaqquh fiddin, berarti dia tidak diinginkan kebaikan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Diantara keutamaan ilmu yang lainnya, sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam :
......... مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
"Barang siapa yang meniti jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allāh akan mudahkan baginya jalan menuju surga".
(HR. Muslim dan yang lainnya.)
Makna meniti jalan dalam rangka menuntut ilmu, disebutkan oleh Syaikh itu ada dua:
a). Meniti jalan dalam arti haqiqi, yaitu berjalan kaki menuju ke majelis-majelis orang-orang yang berilmu.
b). Meniti jalan dalam arti maknawiyah yang mengantarkan kepada dasar-dasar ilmu, seperti menghapal dan mempelajarinya.
Dan diantara makna "maka Allāh mudahkan baginya jalan menuju surga" adalah, Allāh Subhānahu wa Ta'āla memudahkan baginya ilmu yang dia tuntut, sehingga dia menempuh jalannya dan Allāh mudahkan baginya, karena sesungguhnya ilmu adalah jalan menuju surga.
Adakah penuntut ilmu, sehingga dia akan ditolong atasnya. Dengan ilmunya ia akan ditolong menuju surga Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Keutamaan yang begitu besar, bagi orang-orang yang berilmu, bagi orang-orang yang menuntut ilmu, karena dengan ilmunya dia berjalan menuju surga Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Makna yang kedua, jalan menuju surga pada hari kiamat, yaitu sirath, baik sebelum sirath ataupun sesudah sirath. Dan ilmu itu mengantarkan kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla melalui jalan yang terdekat. Maka barang siapa yang meniti jalan menuntut ilmu, maka ia akan sampai kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, akan sampai pula ke surga Allāh Subhānahu wa Ta'āla, melalui jalan yang terdekat.
Ilmu juga adalah petunjuk yang menunjuki manusia, yang menunjuki orang yang menuntut ilmu tadi, yang mempelajarinya, yang menkajinya di dalam kegelapan jahil, kegelapan kebodohan, kegelapan kerancuan dalam berfikir atau syubhat, dan kegelapan keragu-raguan., karena ini adalah semuanya kegelapan. Karena orang yang jahil, dia akan rancu dalam berfikir, mengira bahwa dalam ayat satu dengan ayat lainnya terjadi kontradiksi, karena kejahilannya, kedangkalan ilmunya, sehingga menganggap seolah-olah ada kontradiksi dalam firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Karena kedangkalan dalam masalah agama, menganggap seolah-olah ada kontradiksi antara al-Qur'an dan hadits-hadits yang shohih, sehingga naudzubillah sampai akhirnya menolak hadits yang shohih karena dianggap kontradiksi dengan al-Qur'an. Dan ini adalah karena kejahilan, maka dia harus belajar. Karena kejahilannya ini mengantarkan kepada kerancuan dalam berfikir. Justru mendewakan akalnya, tidak tunduk terhadap dalil, tidak tunduk terhadap firman Allāh dan tidak tunduk terhadap sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Karena sejatinya kita diberi akal oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla adalah terbatas, akan mampu menjangkau pada hal-hal memang yang dimampuhi oleh akal ini, dan tidak akan mampu menjangkau pada hal-hal yang memang akal tidak mampu. Sehingga kita dibarengi dalam menuntut ilmu itu dengan kitabullah dan sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. Karena akal ibarat mata dan mata tidak akan mampu melihat tanpa cayaha, dan kitabullah dan sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah cahaya. Ilmu adalah cahaya, sehingga mata mampu melihat karena ada pantulan cahaya, pantulan ilmu kitabullah dan sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, oleh karenanya Allāh Subhānahu wa Ta'āla menamakan kitabnya al-Qur'an dengan nama Nuur, yaitu cahaya, karena cahaya itu memberi petunjuk, menerangi dari kegelapan, dari kegelapan yang tadi disebutkan oleh Syaikh yaitu kegelapan kebodohan, kegelapan kerancuan dalam berfikir dan kegelapan keragu-raguan.
Demikian pula karena kegelapan keraguan, yaitu kegelapan karena kejahilannya dalam masalah ilmu sehingga dia ragu, ragu dalam perkara akhirat, ragu dalam masalah pahala, ragu dalam masalah benar, salah, ragu dalam masalah haq dan bathil. Hal ini adalah karena kejahilannya, maka harus ditopang dengan ilmu yang shohih, kitabullah dan sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, sesuai dengan pemahaman sahabat, sesuai dengan pemahaman para salaful ummah. Mereka orang-orang yang dididik langsung oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, yang belajar langsung bersama guru yang terbaik Nabi Mahammad shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Demikian semoga berfaedah dan bermanfaat.
آخر دعوانا أن الحمد الله ربّ العالمين
والسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ  
Disalin oleh Tim Transkrip
🔁 Dapat diunduh di: http://goo.gl/I4ocdW
✅ Dimuraja'ah oleh Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc.
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus (penulis Syaikh Dr. Ahmad Farid)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
️Madrasah Ahlussunnah Waljama'ah Li I'dad Du'at Desa Bener, Kec. Tengaran, Kab. Semarang

Tazkiyatun-Nufus Halaqoh #007



Tazkiyatun-Nufus
Halaqoh #007
Bab 1: Ikhlas dan Mutaba'ah #6
🔗 Mutaba'ah Sunnah Rasul
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
السلام عليكم ورحمة اللّه ﺗﻌﺎﻟﯽٰ وبركاته
اَلْحَمْدُ لِلهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طيّبًا مباركًا فيه كَمَا يحبّوا ربّنا ويرضى. و أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ  وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أَمَّا بَعْدُ؛
Ikhwāni wa akhawāti fillāh rohimāni wa rohimakumullāhu jamī’an, halaqoh hari ini adalah halaqoh yang ke tujuh, pada poin ikhlas, di mana poin alif adalah membahas secara khusus tentang Ikhlas, sekarang poin yang ba membahas tentang mutaba’atus-sunnah, mengikuti sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Mutaba’ah berarti ‘ala wazni mufaa’alah (على وزن المفاعلة), mengikuti wazan (timbangan shorof)  mufaa’alah. Yaitu taaba’a - yutaabi’u - mutaaba’atan (تابع - يتابع -متاعبة). Juga bermakna ittaba’a - yattabi’u - ittibaa’an ( اتبع - يتبع -اتباعا) , ittiba’. Ittiba’ bi ma'na iqtida’ (اقتداء) meneladani, mencontoh, mengikut sunnah-sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, baik ucapan, perbuatan ataupun perkara-perkara yang didiamkan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Berkata Syaikh DR Ahmad Farid hafidzahullāhu, “Syarat yang kedua agar diterimanya amal adalah agar amal tersebut muthoobiqon, sesuai dengan sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam”. Hal ini sesuai dengan hadits:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ قَالَ ابْنُ عِيسَى قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَنَعَ أَمْرًا عَلَى غَيْرِ أَمْرِنَا فَهُوَ رَدٌّ.
Dari ‘Aisyah  radhiyallāhu Ta'ālā 'anhā, telah bersabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, “Barang siapa yang mengada-adakan, membuat perkara baru dalam urusan kami (Islam), yang bukan bagian dari agama ini, maka amalan tersebut tertolak”
Pada riwayat yang lain, menurut Imam Muslim “Barang siapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami, maka amalan tersebut tertolak”.
Hadits ini adalah dasar dari dasar-dasar Islam. Sebagaimana hadits, bahwasanya, “amal tergantung niat", itu menjadi timbangan, timbangan dalam amalan secara bathin, maka hadits ini adalah timbangan bagi amalan secara lahir. Sebagaimana setiap amalan yang tidak dimaksudkan dengan amal tersebut mengharap wajah Allāh Subhānahu wa Ta'āla , pelakunya tidak mendapatkan pahala sama sekali, demikian pula setiap amalan yang tidak sesuai dengan perintah Allah dan RosulNya, maka amalan tersebut juga roddun ‘ala amilihi (رد على عامله), tertolak.
Artinya bahwa amalan yang tidak ikhlas tidak diterima dan amalan yang tidak  mengikuti sunnah, yang tidak mencontoh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam juga tertolak ( tidak diterima). Karena makna sabda Nabi  ليس علبه أمرنا "laisa ‘alaihi amruna", " tidak di atas perkaranya kami", hal ini menunjukkan bahwa semua amalan dari orang-orang yang beramal, semuanya harus seyogiyanya di bawah ketentuan hukum-hukum syariah. Sehingga hukum-hukum syariah menjadi hakim penentu atas amalan-amalan tersebut, baik berkaitan dengan perintah ataupun larangan-larangan.
Maka barang siapa yang amalnya berjalan di bawah hukum-hukum syariah, sesuai dengan hukum-hukum syariah, maka amalan itu maqbul/ diterima. Dan sebaliknya, barang siapa yang amalannya keluar dari ketentuan itu, maka mardud/ tertolak.
Kemudian Mu’allif (penulis) melanjutkan, menerangkan hal ini, Allah telah mewajibkan atas kita untuk taat kepada RosulNya shallallāhu 'alayhi wa sallam, QS Al-Hasyr ayat 7:
......وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا.....(7)
Dan apa yang datang dari Rosul kepada kalian, maka ambilah, dan apa yang Rosul larang bagi kalian, maka tinggalkanlah.
Dan Allāh Subhānahu wa Ta'āla  berfirman: QS Al-Ahzaab ayat 36.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى الله وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا(36)
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allāh dan RosuluNya telah  menetapkan suatu ketetapan akan ada pilihan yang lain bagi mereka tentang urusan mereka, dan barang siapa yang mendurhakai Allāh dan RosuluNya, maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.”
Artinya orang yang tidak menerima ketentuan Allāh dan RosulNya, tidak beramal dengan ikhlas, dan juga  tidak ittiba' kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, atau masih ada pilihan lain bagi mereka, masih mengikuti hawa, masih mengikuti prasangka, masih mengikuti kira-kira, masih mengikuti perkataan orang yang bertentangan dengan kitabuLLah dan sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, tidak meneladani Nabi, tidak mencontoh Nabi, maka sungguh dia telah sesat yang nyata. Karena ucapan orang yang beriman apabila dipanggil maka akan mengatakan sami’na wa atho’na ( kami dengar dan kami taat).  
Allāh Subhānahu wa Ta'āla  telah menjadikan pengikut sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam sebagai bukti akan kecintaannya kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Allāh Subhānahu wa Ta'āla  berfirman,  QS Ali Imron ayat 31:
.....قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ الله فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ الله.....(31)
“Katakanlah Muhammad, jika kalian mencintai Allāh, maka ikutilah aku, maka Allāh Subhānahu wa Ta'āla  akan mencintai kalian".
Berkata Hasan Al-Basri, “Manusia mengaku mencintai Allāh Azza wajalla, lantas Allāh menguji mereka dengan turunnya ayat ini, “Katakanlah Muhammad, jika kalian betul-betul mencintai Allāh, maka ikutilan aku” yakni Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, maka Allāh akan mencintai kalian.
Jadi pertanda, bukti kalau seseorang itu mencintai Allāh, adalah mengikuti Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. Bukti kalau seseorang itu mencintai, mengagungkan dan memulyakan Allāh Subhānahu wa Ta'āla, maka dia beramal sesuai dengan petunjuk Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Sebagaimana pula Nabi mewasiatkan untuk berpegang teguh dengan sunnahnya, dan juga sunnah khulafaur-rasyidin, para khalifah-khalifah Rasyidin yang 4, Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda,:
....... فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kalian, yakni sepeninggal Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, maka dia akan mendapatkan ikhltilaf yang banyak, (perselisihan yang sangat banyak), maka solusinya kata Nabi, wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnah ku dan sunnah khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, gigitlah dengan gerahammu, (bermakna pegang erat-erat), dan waspadalah kalian dari hal perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah sesat.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Demikian pula hadits ini diriwayatkan oleh Imam Darimi, Ibnu Majah dan Imam Baghowi.
Ittiba’ kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam berarti kita mengikuti dan mencontoh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam baik dalam keyakinan, ucapan maupun perbuatan. Sehingga apa yang diyakini oleh Nabi juga diyakini oleh kita, apa yang diucapkan oleh Nabi kita contoh pula, apa yang diperbuat oleh Nabi, kita contoh pula. Sebagaimana Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dalam kaitannya akidah, iman kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, iman terhadap malaikat, iman terhadap kitab-kitab Allāh Subhānahu wa Ta'āla, iman terhadap Rosul-rosul, iman terhadap hari akhir, iman terhadap qodho dan qodar, maka keyakinan ini harus dibangun di atas keyakinan yang diyakini oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Bukan semata-mata mendahulukan akal, sehingga yang tidak sesuai dengan akal justru dimentahkan, dibuang jauh-jauh. Jangan sampai justru mengikuti dan mendewakan hawa nafsu, sehingga yang tidak sesuai dengan keinginan atau hawa nafsunya dimentahkan dan dibuang jauh-jauh. Karena berpegang teguh dengan sunnah Rosul adalah satu-satunya jalan keselamatan. Ittiba’, berpegang teguh dengan sunnah Rosul  adalah satu-satunya jalan keselamatan.
Demikian pula kita dalam berucap, selalu berusaha mengikuti dan meneladani Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. Demikian pula di dalam berbuat, selalu berusaha dan mengikuti yang diamalkan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.  Jika ada amalan atau perbuatan yang meskipun itu sudah lazim di masyarakat, sudah menjamur di tengah-tengah masyarakat, namun tidak dicontohkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, maka jangan segan anda mengatakan tidak, karena lebih baik anda dicampakkan dijauhkan dari masyarakat, daripada anda dijauhkan dari surga Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Karena hakekatnya tetap berpegang teguh dengan sunnah Nabi adalah kesuksesan, jalan keselamatan.

Hal ini sebagaimana perkataan Imam Zuhri, “Berpegang teguh dengan sunnah Nabi adalah keselamatan”. Karena sunnah itu ibarat perahu Nabi Nuh 'aliyissalam, hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Imam Malik, “Sunnah itu ibarat perahunya Nuh 'aliyissalam, barang siapa yang naik, maka dia sukses, dia selamat dari petaka, dan barang siapa enggan, tidak naik perahu tersebut, maka dia binasa”.
Kalau anda bayangkan, pahami betul-betul perkataan Imam Malik ini, maka sangat bisa dipahami, bahwa sunnah adalah seperti perahunya Nabi Nuh 'aliyissalam, dimana tatkala itu terjadi banjir bandang yang begitu besar, air turun dari atas langit, semua sumber-sumber air memancarkan air nya, sehingga bertemu dalam suatu titik, dan menjadilah semuanya banjir seluruh jagat raya ini. Tidak ada yang akan bisa selamat kecuali dengan menaiki perahunya Nabi Nuh 'aliyissalam.
Maka demikianlan kita hidup pada zaman ini, tidak ada yang bisa menyelamatkan kita dari semua fitnah shubhat ataupun fitnah syahwat. Fitnah shubhat, kerancuan dalam berfikir, kecuali dengan kembali kepada sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. Ibarat kita mengendarai atau numpak perahu Nabi Nuh 'aliyissalam, tidak ada jalan lain kecuali harus numpak perahu itu, tidak ada jalan lain kecuali harus ittiba’ dengan sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Berkata Sufyan, “Ucapan tidak diterima kecuali dengan amalan (dipraktekan), dan perkataan dan perbuatan tidak akan istiqomah, tidak akan langgeng, kecuali didasari dengan niat (niat yang shalihah), dan tidak akan istiqomah (tidak akan lurus), perkataan, perbuatan dan niat, kecuali dengan mengikuti sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Perkataan terakhir adalah perkataan Ibnu Syaudzab, “Sesungguhnya diantara nikmat Allāh  atas pemuda, yaitu apabila dia beribadah dengan diberi taufik oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla  untuk mengikuti jalannya seorang ahli sunnah, sehingga seorang ahli sunnah itu akan membawanya kepada sunnah. Ini adalah termasuk nikmat yang begitu besar atas seorang pemuda. Terlebih kita ketahui bahwa kebanyakan orang yang punya pemikiran terlalu banyak menyimpang dari kitabuLLah dan sunnah Rasulullah adalah para pemuda, karena jauhnya mereka dari pemahaman agama.
Maka jalan sukses untuk kita beragama adalah untuk kembali kepada Dien ini, kembali belajar ilmu syar’i, karena inilah satu-satu nya untuk kita lebih mengenal agama Islam secara mendalam, sehingga hati kita semakin bersih dari segala kotoran yang mengotorinya, hati kita semakin jernih karena ilmu sebagai penjaga atas hati kita, yang menyinarinya, yang membersihkannya dan juga yang menangkis segala virus, kotoran ataupun amal-amal yang bisa mengotorinya.
Demikian semoga berfaedah dan bermanfaat.
والله تعلى و أعلم بالصواب، و الحمد الله ربّ العالمين
ثم السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ  
Disalin oleh Tim Transkrip
🔁 Dapat diunduh di: http://goo.gl/I4ocdW
✅ Dimuraja'ah oleh Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc.
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus (penulis Syaikh Dr. Ahmad Farid)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
️Madrasah Ahlussunnah Waljama'ah Li I'dad Du'at Desa Bener, Kec. Tengaran, Kab. Semarang

Tazkiyatun Nufus Halaqoh #006



Nufus Tazkiyatun
Halaqoh #006
Bab 1: Ikhlas dan Mutaba'ah #5
🔗 Ikhlas Bagian 5: Keutamaan Niat Ikhlas
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc

بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
السلام عليكم ورحمة اللّه ﺗﻌﺎﻟﯽٰ وبركاته
إِنَّ الْحَمْدَ الله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْه فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.  أَمَّا بَعْدُ؛
Ikhwanī wal akhawatī fillah rohimani wa rohimakumullahu jamī'an, nashkurullāhu Ta'āla, kita bersyukur kedapa Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada kesempatan yang mulia ini, kita masih bisa melanjutkan kajian kitab Tazkiyatun Nufus untuk halaqah yang keenam.
Pada halaqah ini   in syā Allāh kita akan membahas tentang Keutamaan Niat.
Mu'allif (Penulis) Syaikh DR Ahmad Farid  حفظه الله, membawakan riwayat dari Umar bin Khothob  radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, bahwasanya beliau mengatakan bahwa: “Seutama-utama amal adalah:
Menunaikan apa yang Allāh Subhānahu wa Ta'āla  fardhukan,
Wara’ yaitu meninggalkan apa yang Allāh Subhānahu wa Ta'āla  haramkan
Niat yang benar dalam hal meraih pahala di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla ”.
Umar bin Khathab  radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, mengatakan bahwa yang paling utama dari semua amalan adalah melaksanakan apa yang Allāh  fardhukan, karena fardhu tentu lebih utama dari pada yang sunnah, karena kaitannya dengan fardhu dan sunnah ini diantara kita mungkin terjebak, lebih mendahulukan yang sunnah dari pada yang fardhu, bahkan lebih mendahulukan  mungkin yang mubah.
Diantara ibadah fardhu yang hilang dari kita adalah tholabul ‘ilmi, kita jarang menyadarinya bahwa ini adalah ibadah fardhu, dan ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i. In syā Allāh ada bab yang khusus membahas keutamaan ilmu syar’i.
Diantaranya yang kadang kita terjebak dalam perkara antara yang fardhu dan bukan fardhu dan lebih mendahulukan yang bukan fardhu adalah masalah infak atau shodaqoh. Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam
bersabda: “Dinar/Uang/Harta yang kau infakkan di jalan Allāh di jalan Jihad, Dinar yang kau infakkan kepada orang-orang miskin dan dinar yang kau infakkan kepada keluargamu yang paling besar pahalanya adalah yang kau infakkan kepada keluargamu”.
Hal ini karena menafkahi anak, istri, keluarga, kerabat yang fakir yang tidak mampu dan kalau kita mampu adalah kewajiban bagi kita, menafkahi anak dan istri adalah kewajiban bagi seorang suami, sehingga ini lebih afdhol, lebih utama karena ini fardhu, ketimbang infak kepada fuqoro, infak kepada miskin yang bernilai pahala sunnah. Maka infak kepada keluarga itu lebih utama dari pada infak kepada fuqoro, karena ini termasuk nafaqoh wajib.
Diantara yang kadang kita terjebak adalah dalam masalah tholabul ‘ilmi, padahal Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam  bersabda, bahwa “Menuntut ilmu itu kewajiban atas setiap muslim”. Dan ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i. Bahkan muroja’ahnya, menghapalnya, mencatatnya, mengulang-ulang kembali materi yang telah dipelajarinya bagian dari fardhu. Jangan pernah lupa, bahwa ini adalah ibadah fardhu. Maka kita harus lebih mengerahkan segala waktu kita untuk tholabul ‘ilmi.
Kemudian yang kedua, seutama-utama yang dikatakan oleh Umar bin Khatab  radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu , “Bersikap Wara’ atau meninggalkan apa-apa yang Allāh haramkan”. Karena setiap apa yang Allāh haramkan adalah pasti bagi hambanya mampu untuk meninggalkan. Berbeda pada perintah, sebuah perintah adalah ditunaikan sesuai dengan kadar kemampuan. Bertaqwalah kalian kepada Allā sesuai kadar kemampuan. Berbeda dengan sesuatu yang Allāh haramkan, sesuatu yang Allāh haramkan ini pasti hambanya mampu untuk meninggalkannya.
Kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, “Dan apabila aku melarang kalian terhadap sesuatu, maka tinggalkanlah”. Maka berarti konteksnya bisa dipahami bahwa, semua yang Allāh  haramkan dan semua yang Rasūlullāh   haramkan pasti kita mampu meninggalkannya. Berbeda dengan perintah, maka sesuai pada kadar kemampuan. Orang tidak mampu sholat berdiri, maka dia sholat dalam kondisi duduk, tidak mampu duduk maka dengan kondisi berbaring, tidak sanggup berbaring maka dalam kondisi isyarat. Kalau tidak mampu disholati.
Demikian dalam hal larangan, pasti semua bisa meninggalkannya. Maknanya adalah, apapun yang Allāh haramkan, pasti bisa ditinggalkan. Sehingga ketika seseorang ingin berbuat zina, pasa saat itu pula dia mampu untuk meninggalkannya, untuk tidak berbuat zina, dan seterusnya, apa yang Allāh haramkan pasti mampu untuk ditinggalkan.
Dan ketiga yang dikatakan oleh Umar  radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu , “Dan seutama-utama amal adalah niat yang benar untuk meraih pahala di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla”. Karena tanpa niat yang benar, maka pahala tidak akan bisa diraih, sehingga amal sebesar apapun tanpa niat yang benar karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla , maka kita tidak akan bisa meraihnya. Oleh karena itu niat yang benar adalah seutama-utama amal. Dan niat itu letaknya di hati.
Berkata sebagian para salaf, “ Berapa banyak amal yang kecil, menjadi besar dikarenakan niat”. Mungkin amalnya adalah sekedar menyingkirkan duri di jalan, tapi karena niatnya benar, karena niatnya ikhlas karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla , menyingkirkan gangguan bagi kaum muslimin bagi para pengguna jalan, tanpa pamrih, tanpa ingin ada balas jasa atau balas budi, maka itu di nilai besar di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla . Meskipun hanya sekedar menyingkirkan duri di jalan, gangguan di jalan.
Dan berapa banyak amal yang besar menjadi kecil dikarenakan niat. Ibadah jihad, ibada haji yang membutuhkan modal besar, menjadi kecil nilainya tatkala tidak dibarengi niat yang ikhlas. Jihad dengan harta dan jiwa, bersimbah darah, bahkan mungkin menemui kematian, tapi kalau tidak niat yang benar, yang ikhlas karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla , maka tidak bernilai pahala.
Tholabul ‘ilmi, menuntut ilmu, keutamaan yang besar, ibadah yang besar, kewajiban yang besar, tapi kalau tidak dibarengi dengan niat yang benar karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla , maka menjadi sirna pahalanya, berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Tapi niat sekecil apapun, bahkan mungkin perkara-perkara mubah, perkara-perkara duniawi, rutinitas-rutinitas sehari-hari, makan, minum, ini adalah perkara yang mubah, tidak berpahala, tapi karena niat yang benar, agar ibadahnya semakin kuat, agar mampu melaksanakan ketaatan kepada Allāh dengan sempurna karena fisik yang optimal dan prima. Maka disaat itu  rutinitas yang mubah, perkara duniawi, rutinitas perkara duniawi menjadi bernilai pahala disisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla, karena niat yg benar. Maka disinilah betapa pentingnya niat.!!
Yanya bin Abi Katsir mengatakan, “Belajarlah niat, pelajarilah niat, karena sesungguhnya niat itu lebih menyampaikan ke tujuan dari pada amal!!”.  Amal mungkin bisa tidak sampai kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla , tidak diterima jika tidak ikhlas. Tetapi niat seorang berazam, bertekad ingin beramal, hanya sekedar niat, niat kebaikannya sudah dicatat sebagai pahala, di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Maka pelajarilah niat, karena sesungguhnya niat itu lebih menyampaikan kepada tujuannya. Mendapatkan pahala di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla .
Namun, apakah niat itu harus dilafadzkan ? diungkapkan, dibeberkan dan diucapkan. Ada satu riwayat yang disebutkan oleh Syaikh DR Ahmad Farid, dari Ibnu Amar  radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu , “Beliau mendengar seseorang ketika sedang ihrom berkata “Allāhuma inni urīdul hajja wal ‘umrota” “Ya Allah, aku hendak berhaji dan ber-umroh”, maka Ibnu Umar  radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu  berkata kepada orang ini, “Apakah engkau hendak memberi tahu orang lain ?” apakah engkau hendak mengabarkan orang lain ? Hal ini karena niat adalah maksud hati, kehendak hati, sehingga tidak perlu dilafadzkan. Maka tidak perlu dilafadzkan, dalam ibadah apapun. Namun disyariatkan dalam ibadah haji dan umroh untuk mengucapkan, “Labbaik Allāhumma labbaik, labbaik allahuma bi hajjatin” atau “labbaik Allahumma bi ‘umrotin” atau ketika haji qorin “labbaik allahuma bi ‘umrotin wa hajjatin”. Dan ini yang dikenal dengan istilah ihlal atau talbiyah (bukan melafadzkan niat).
Semoga ini bisa dipahami dan memberikan faedah bagi kita semua akan pentingnya niat. Sehingga dalam semua aktivitas baik yang bernilai mubah/perkara duniawi, apalagi yang bernilai ibadah, maka seyogiyanya bagi kita untuk menghadirkan niat. Karena begitu pentingnya niat dan urgensinya niat itu.
Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla  memberikan taufik kepada kita untuk meluruskan niat-niat kita pada setiap ibadah-ibadah yang kita lakukan.
والله تعلى و أعلم بالصواب، و الحمد الله ربّ العالمين
ثم السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ  
Disalin oleh Tim Transkrip
✅ Dimuraja'ah oleh Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc.
Berdasarkan kitab Tazkiyatun Nufus (penulis Syaikh Dr. Ahmad Farid)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
️Madrasah Ahlussunnah Waljama'ah Li I'dad Du'at Desa Bener, Kec. Tengaran, Kab. Semarang